Situs Web Tutorial, Berita & Media

Saturday, 6 January 2024

Buruan Kesempatan Terbatas! Segera Klaim Link Ini dan Dapatkan Saldo Dana Gratis Rp100 Ribu

Link terbaru Dana Kaget sedang memberikan peluang untuk mengklaim saldo gratis senilai Rp100 ribu secara eksklusif.


Banyak orang saat ini membagikan saldo Dana secara cuma-cuma pada bulan Januari 2024, dan salah satunya dapat ditemukan melalui link Dana Kaget terbaru yang tercantum di akhir artikel ini.




Dibandingkan dengan aplikasi penghasil uang atau game lain yang memberikan saldo Dana gratis, link Dana Kaget telah terbukti lebih mudah untuk meraih saldo secara cuma-cuma.

Keunggulan dari link Dana Kaget terletak pada kemudahan untuk memperoleh saldo gratis dengan hanya mengklaim link tersebut.

Namun, perlu diingat bahwa tidak semua orang dapat memperoleh saldo Dana gratis melalui link Dana Kaget ini.

Sebab, link tersebut hanya dapat diambil oleh sejumlah terbatas, yaitu antara 2 hingga 200 orang, dan memiliki masa aktif yang terbatas hanya selama 24 jam.

Oleh karena itu, persaingan untuk mendapatkan saldo Dana gratis dari link Dana Kaget menjadi ujian keberuntungan dan kecepatan dalam mengklaim.

Meski begitu, jangan khawatir karena di bulan Januari 2024 ini, masih ada peluang untuk mendapatkan saldo Dana gratis melalui link Dana Kaget.

Anda juga dapat mengklaim link Dana Kaget yang selalu diperbarui setiap harinya. Lebih lanjut, link Dana Kaget terbaru hari ini telah disediakan di bawah ini. Jangan lewatkan kesempatan ini untuk segera mengklaim dan mendapatkan saldo Dana gratis senilai Rp100 ribu sebelum kehabisan. Cara Mengklaim Link Dana Kaget: Salin link Dana Kaget terbaru hari ini dan tempelkan ke browser HP Anda. Klik OK atau tekan Enter untuk mengakses link Dana Kaget. Klik gambar amplop atau tombol "Klaim Sekarang." Saldo Dana gratis akan langsung cair jika kuota masih tersedia.


TAGS 

#DANA #Saldo DANA #saldoDANAgratis saldo DANA 100 ribu gratis dana gratis link DANA kaget Klaim Saldo DANA klaim link dana kaget hari ini link Dana



Share:

Inilah Prediksi Skor Bahrain vs Australia, Head to Head dan Link Live Score Malam Ini Pukul 21.00 WIB - Onlianjuss.Com

Bahrain dan Australia akan bertanding dalam pertandingan persahabatan di Stadion Baniyas di Uni Emirat Arab (UEA) pada Sabtu Pukul 21.00 WIB.


Bahrain kalah dalam pertemuan terakhir mereka pada tahun 2023, 2-0, melawan UEA, sementara Socceroos mengakhiri tahun dengan tiga kemenangan berturut-turut, mengalahkan Palestina pada November 1-0.


Baru beberapa bulan bertugas, Juan Antonio Pizzi telah memulai masa jabatannya sebagai manajer Bahrain dengan baik, hanya menderita satu kekalahan sejak mengambil alih.


Meski kalah dalam pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2026 sebelumnya melawan UEA, mereka masih mampu lolos ke putaran ketiga kualifikasi Asia untuk keenam kalinya berturut-turut.

Tim Australia memasuki tahun 2024 dengan penuh percaya diri, baru meraih kemenangan berturut-turut di bulan November, menempatkan mereka di puncak grup kualifikasi Piala Dunia putaran kedua dengan rekor 2-0 dan tanpa kebobolan satu gol pun.


Setelah kampanye Piala Dunia 2022 yang mengesankan di mana Socceroos lolos ke babak sistem gugur untuk kedua kalinya dalam sejarah mereka.


Paruh pertama tahun 2023 berjalan sulit, dengan Australia kalah tiga kali dari lima pertandingan internasional pertama mereka.


Namun, pasukan Graham Arnold berhasil menyatukannya pada musim gugur 2023, meraih hasil positif dalam empat dari lima pertandingan di semua kompetisi dari September hingga November, tanpa kebobolan satu gol pun dalam tiga pertemuan terakhir mereka.

Sejak kalah 1-0 melawan Arab Saudi di kualifikasi Piala Dunia Maret 2022, Socceroos telah memenangkan empat pertandingan kompetitif terakhir mereka melawan lawan dari Asia, mengungguli mereka dengan selisih gabungan 10-1 dalam rentang waktu tersebut.


Head to Head Bahrain vs Australia


Berikut head to head Bahrain vs Australia dalam tiga pertemuan:

18/01/11: Australia vs Bahrain 1-0


10/06/09: Australia vs Bahrain 2-0

Prediksi Skor Sportsmole Bahrain 0-1 Australia

Link Live Score Bahrain vs Australia

Share:

 


MEMBUSUKNYA MAYAT SELINGKUHAN SUAMIKU (11)


"Kamu kenapa lagi, Sih?" 


Astaghfirullah. Aku langsung memegangi dada, hampir copot rasanya. Aku kira siapa tadi, Yanti langsung membantuku duduk. 


Rafi juga langsung mendekat ke kami. 


"Maka nya jangan ngagetin, Mbak Asih, Mbak. Lagi agak parnoan kayaknya. Dari kemaren juga gitu."


"Kamu kayak lagi dihantui gitu, Sih?" tanya Yanti pelan, dia penasaran sekali dengan jawabanku. 


Aku menganggukkan kepala, hanya saja ini perasaan yang tiba-tiba, mendadak aku merasa ketakutan sendiri atau apa lah itu. Aku merasa ini juga aneh. 


"Emm, kayaknya kita udah aja deh mencarinya. Nanti lagi, kayaknya Mbak Asih butuh istirahat." Rafi menatapku dan Yanti bergantian. 


Buru-buru aku menggelengkan kepala. Kami harus segera menemukan apa yang terjadi sekarang. Aku tidak mau menunda-nunda waktu lebih lama lagi. 


"Kita cari setengah jam lagi, kalau kita gak dapat apa-apa, baru hentikan. Lagi pula kan memang kita juga harus jemput anak-anak."


Yanti menatap jam yang dia pakai, kemudian menganggukkan kepala. "Kalau gak ketemu juga ya udah, mau diapain lagi. Mungkin besok kita baru cari tau soal apa yang terjadi di rumahnya tetangga kamu, Sih."


Nah, masalahnya itu. 


"Kamu dengar apa yang dibilang Mas Zaki gak, Yan? Tadi kan dia bilang memang hari ini kami mau ke rumah Mama dan Papa dia, nah jadi gimana?" tanyaku pada Yanti yang langsung terdiam. 


Akhirnya aku bisa juga mengendalikan diri sendiri agar tidak terlalu terbawa suasana di sini. Aku menghela napas lega. 


"Iya, mungkin nanti kita taruh kamera tersembunyi aja yang bisa mantau di sini kali ya, Sih?" tanya Yanti membuatku terdiam sejenak. 


"Nah, ide menarik tuh, kita kan juga gak terlalu lama di rumah mertua nya Mbak. Paling cuma satu atau dua hari kan? Si Dani juga harus sekolah, Bang Zaki juga harus kerja lagi. Jadi gak bakalan lama juga."


"Tuh, setelah kalian pulang lagi, baru kita kembali selidiki semuanya."


"Tapi kan kamu juga harus balik lagi ke rumah. Kayak nya Mama dan Papa udah balik juga deh, terus gimana?" tanyaku pelan. 


"Aman itu mah, Mbak. Aku juga bisa kalau mau tinggal di sini lagi. Mungkin nanti Mama dan Papa yang ngasih uang kebutuhanku ke Bang Zaki. Setelah itu aman deh."


Benar sih kata Rafi. Aku menganggukkan kepala, kami memang harus penuh dengan rencana. Kalau tidak, semua nya bisa kacau. 


"Ya udah, ini kita langsung lanjutin aja kali ya nyari mayatnya ada di mana."


"Iya, aku setuju. Lebih baik kita cari dulu setengah jam." 


Kami kembali berpencar. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, dimana sih? 


Hampir setengah jam, aku mengusap keringat yang sejak tadi sudah mengalir deras. Kami tidak menemukan apa pun juga. Pandanganku tertuju ke ujung jurang, kemudian menyipitkan mata. 


Hei! Aku melihat sesuatu di sana, aku berpegangan agar tidak jatuh. Serem juga kalau lihat ke bawah. 


"Rafi! Yanti! Sini deh!"


Memang terlihat kecil sekali di ujung jurang sana dan kami juga tidak berani melihatnya. Adik dan sahabat lamaku itu langsung datang, mereka tampak kaget ketika melihatku. 


"Aduh Sih, ngapain kamu di situ, bahaya banget loh. Itu jurang, jauh-jauh aja dari situ, kita aja gak berani." Yanti tampak malas sekali untuk melihat jurang itu. 


"Coba lihat ke bawah deh, jangan takut dulu, maka nya pegangan biar gak terjadi apa-apa."


Meskipun takut, Rafi akhirnya mengikuti apa yang aku katakan barusan. Dia berpegangan, tetapi dia juga terlihat pucat karena ini memang seram sih, kemudian berusaha melihat ke bawah. 


"Eh?! Itu koper kemarin bukan sih, Mbak?" tanya Rafi membuatku menganggukkan kepala. 


"Apa iya? Kalian nemuin koper kemarin?"


Akhir nya Yanti juga ikutan untuk melihat apa yang kamu lihat. Dia mengangguk-anggukkan kepala. 


"Kayaknya beneran deh itu adalah koper kemarin. Terus gimana? Kita mau coba buat lihat koper itu?" tanya Rafi membuatku langsung menggelengkan kepala. Bagaimana caranya agar tiba di ujung jurang itu? Mana katanya jurang itu banyak durinya lagi di dasarnya. 


"Kita hubungi polisi." Yanti langsung mengambil ponselnya. 


"Eh sebentar Mbak." 


Yanti menghentikan gerakan tangannya. Dia menatap Rafi yang barusan menghentikannya. Kemudian menunggu apa yang ingin Rafi katakan. 


"Ada apa lagi?" tanya Yanti tidak sabar untuk menelepon pihak berwajib untuk melaporkan hal tersebut. 


"Coba perhatikan lagi deh Mbak. Kayaknya koper itu terbuka dan gak ada lagi mayatnya. Coba dulu deh."


Aku menyipitkan mata, kemudian menggelengkan kepala. Aku tidak bisa terlalu melihat dengan jelas. Rafi dengan cepat kembali ke dalam rumah, kemudian memberikan teropong mainan milik Dani padaku. 


"Itu kayaknya bisa bantu Mbak buat lihat ke bawah."


Mungkin saja. Aku memakainya, terdiam sejenak. Koper itu memang terbuka dan tidak ada isi mayatnya lagi. Ya, aku bisa pastikan itu karena kopernya juga terbuka ke arah kami. Aku menganggukkan kepala. 


"Kopernya udah kebuka, gak ada isi mayatnya lagi."


"Eh? Serius?" tanya Yanti sambil mengambil alih teropong kecil dari tanganku. "Ya ampun, kemana mayat yang kalian bilang? Atau jangan-jangan udah dimakan sama binatang buas?"


Kami bergedik ngeri. Aku menelan ludah, tidak bisa membayangkan nasib menjadi Bu Ningsih, sudah tersiksa, mayatnya dimakan pula sama binatang buas. Aku menggigit bibir, bagaimana kalau apa yang dikatakan oleh Yanti itu benar?


"Kita gak bisa juga nelepon polisi, karena mayat di dalam koper itu udah gak ada lagi, nanti kita lagi yang dibilang ngerjain mereka lagi. Apa yang bakalan mereka cari tau juga? Dan untuk akses ke jurang ini bakalan susah banget." 


Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Lalu bagaimana? Aduh, aku jadi bingung begini deh. .


"Terus kita harus apa? Kita gak bisa dong tinggal diam kayak gini aja." Yanti tampak khawatir. 


"Kasihan sama mayatnya, nanti kalau dia gak tenang gimana? Aduh, kamu bayangin juga dong Raf kalau itu semua terjadi." Yanti menggaruk kepala yang tidak gatal. 


"Ya aku juga gak tau harus gimana Mbak. Aku juga bingung. Atau kalau mau ya udah langsung aja telepon polisi, tapi aku gak bisa janji kalau polisi bakalan bilang kita cuma ngerjain mereka dengan segala kehalusinasian kita. Udah puas banget dengarnya kemarin."


"Terus kita harus gimana?"


"Kopernya kan kita udah tau dimana, nah kan kemarin kita nemuin di belakang rumah kan, Mbak?" tanya Rafi sambil menoleh ke aku. 


Dengan cepat, aku menganggukkan kepala mendengar pertanyaan dari Rafi. Kami memang menemukan mayat itu di belakang rumah kemarin, hanya saja tiba-tiba menghilang. 


"Nah, gak mungkin kan kopernya bisa jalan sendiri, kemarin ketika kita mau lapor polisi, Bang Zaki pulang istirahat di rumah. Mbak curiga sama suami Mbak sendiri gak? Kalau aku sih sudah dari kemarin curiga."


Pengen gak mau curiga, tapi memang alasannya kuat sekali. Mas Zaki yang kemarin istirahat, tiba-tiba koper itu menghilang. Aku menelan ludah, apa kah benar kalau Mas Zaki punya hubungan dengan Bu Ningsih? Apa kah ini ada hubungannya juga dengan foto lama di rumah Bu Ningsih?


Ah, aku tidak bisa berpikir dengan cepat sekarang. Aku menghela napas pelan, apa yang harus aku lakukan? Aku menoleh pada Rafi. 


"Nah, semuanya sih aku tergantung ke Mbak. Kita mau nanya langsung dengan risiko Bang Zaki gak bakalan mau bicara yang sejujurnya atau kita berusaha buat cari tau sendiri, karena ya kita juga ada hubungan nya dengan masalah ini sekarang."


"Enggak dong. Kita gak ada hubungan nya sama sekali." Yanti langsung menggelengkan kepala, dia tidak mau ikut campur. 


"Gak bisa gitu Mbak. Mbak justru ada hubungannya di sini, karena Mbak juga yang mau dan sukarela ikut untuk mencari tau ini semua jadi ya jangan salahin aku atau pun Mbak Asih kalau Mbak ternyata ikutan terlibat atau justru nanti malah ikutan diganggu seperti Mbak Asih."


"Eh?" Yanti langsung menoleh ke aku. "Kamu udah diganggu, Sih? Kok gak bilang sama aku?"


Aku menganggukkan kepala. "Kemarin, tepat ketika kami menemukan mayat itu, aku sudah diganggu oleh bayangan hitam atau semuanya itu. Aku udah puas banget."


Wajah Yanti berubah. Dia tampak panik juga, tetapi berusaha untuk tetap mengendalikan dirinya sendiri. 


Ponselku berdering. Aku mengernyitkan dahi, dari Mas Zaki ternyata. Ada apa dia menelepon? Tumben sekali. 


"Siapa Mbak?" tanya Rafi sebelum aku mengangkat telepon. 


"Mas Zaki, bentar ya, Mbak angkat telepon dulu, kalian jangan berisik."


Rafi dan Yanti menganggukkan kepala, aku menggeser tombol berwarna hijau, kemudian mendekatkanhya ke telinga. 


"Halo, Mas. Ada apa? Tumben banget nelepon jam segini. Kamu lagi istirahat?" Aku berusaha untuk bertanya yang biasa saja pada Mas Zaki.b


"Astaga, Sayang. Kamu masih sakit? Atau gimana? Guru nya Dani udah nelepon loh tadi, kata nya sekolahan udah mulai sepi. Kamu belum jemput Dani? Atau aku aja yang jemput Dani ke sekolahan kalau kamu maish kelelahan. Aku bisa kok ninggalin kerjaan sebentar buat Dani."


Eh? Aku langsung menelan ludah mendengar perkataan Mas Zaki. Dia terdengar kesal, tetapi berusaha untuk menahannya. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. 


"Dani sudah pulang ya, Mas? Tapi ini belum jam dia pulang sekolah kok, maka nya aku belum jemput. Aku juga udah enakan kok Mas. Malah sebentar lagi rencananya aku bakalan berangkat buat jemput Dani."


"Sayang, coba lihat ini udah jam berapa." Mas Dani berusaha lebih lembut berbicara denganku. 


"Loh, kok udah jam empat? Tapi tadi kayaknya masih jam dua loh Mas." Aku kaget sekali melihat jam di ponsel. 


"Kamu mau jemput Dani kan? Jangan lama-lama ya, Sayang. Aku lanjut kerja dulu. Nanti kabarin kalau kamu udah jemput Dani. Maaf aku jadi agak marah tadi ke kamu. Aku kira juga kamu masih sakit, maka nya belum jemput Dani. Kan kalau kamu masih sakit, kamu bisa bilang ke aku dulu biar Dani gak nunggu lama di sekolahan. Kasihan dia udah capek sekolah. Ya udah aku matikan ya teleponnya, Sayang. Dadah."


Mas Zaki langsung mematikan telepon. Aku menoleh ke Yanti yang sudah tau akar dari permasalahan nya. 


"Cepet banget jamnya jalan. Kita langsung ke sekolahan aja buat jemput Dani sama Septo." Yanti langsung melangkah cepat ke rumahku. 


Aku juga dibantu oleh Rafi. Kami cepat-cepat masuk ke dalam rumah. 


"Pakai mobilku aja nanti, Sih. Rafi mau ikut juga?" tanya Yanti membuat Rafi menggelengkan kepala. 


"Mungkin Rafi bantu Mbak Aish buat beres-beres pakaian aja yang mau dibawa ke rumah Mama dan Papanya Bang Zaki biar Mbak Asih gak kena marah lagi." Rafi berusaha untuk membantuku. 


Menarik sih, aku langsung menganggukkan kepala ke Rafi, berterima kasih ke dia karena sudah mau membantu meringankan pekerjaanku. 


"Makasih banyak, Raf. Kayak nya kita langsung aja deh, Yan. Kasihan Dani dan Septo. Mereka pasti udah nungguin banget."


Yanti menganggukkan kepala. "Aku yang bawa mobil nya atau kamu aja?"


"Aku aja sini." 


Sahabatku itu memberikan kunci mobil padaku. Kami langsung pergi ke sekolah dengan cepat. Aku sempat menghubungi Mas Zaki agar dia tidak khawatir lagi. 


"Aku lagi mau jalan ke sekolahnya Dani. Kamu tenang aja, Mas. Aman kok."


"Ya udah, hati-hati, Sayang."


"Maaf ya Mas, aku agak lalai hari ini."


"Aku maklum kok. Kamu kan juga lagi gak enak badan dari tadi malam. Harusnya kamu bilang aja ke aku biar aku yang jemput Dani."


"Aman kok Mas."


Aku mematikan telepon, kemudian kembali fokus menyetir mobil. 


"Jangan ngebut-ngebut juga geh, Sih. Masih mau hidup kok, kasihan Septo kalau aku duluan gara-gara hal konyol kayak gini. Lagi pula mereka berdua pasti gak masalah juga kalau kita agak terlambat."


"Aku kasihan aja sama Dani." Aku kembali fokus kemudian melirik Yanti kembali. "Oh iya, pulang nanti kita jadi buat datengin tempat anak itu kemarin?" 


"Boleh. Kamu mau juga? Aku penasaran sama anak itu. Apa kah benar dia itu adalah anak selingkuhan nya suami kamu." 


Kalau benar, aku bingung harus apa. Aku mau marah ke siapa juga? Tidak mungkin ke anak itu kan? Dia tidak punya salah apa pun, yang salah adalah kedua orang tuanya. 


"Tapi serius, kemarin dia minta peluk sama aku, soalnya dia—"


Hei! Aku jadi ingat cerita anak itu. Aku menelan ludah, bagaimana kalau yang diceritakan oleh anak itu benar adanya? Aduh, aku tidak bisa membayangkannya sama sekali. Aku menelan ludah. 


Tin!


Astaghfirullah. Aku langsung menginjak rem kuat-kuat. Mendadak macet, aku mengusap wajah, untung saja tidak menabrak apa pun. Sementara Yanti yang juga tampak panik langsung berpegangan dengan apa pun yang dia bisa. 


"Astaga, kamu kenapa lagi, Asih? Kita itu masih mau hidup, jangan nyerahin kematian gitu aja. Ya ampun, aku udah capek banget lihat kamu. Kenapa lagi sih? Jangan panik gitu kalau bawa mobil. Serem." 


Aku masih berusaha untuk mengatur napas, kemudian kembali mengendarai mobil. Sudah cukup, jangan berpikiran yang aneh-aneh dulu sekarang. aku harus fokus dulu untuk menyetir mobiil. 


"Kamu kenapa lagi, Sih? Mikirin soal apa? Jangan dipikirin dulu kalau masih nyetir mobil. Bisa bahaya tau gak, bukan bahaya kita aja, tapi orang lain juga." Yanti menggelengkan kepalanya. "Atau aku aja yang bawa mobil nya. Kayak nya emosi kamu lagi kurang stabil."


"Gak perlu, kok, Yan. Aku bisa. Kamu tenang aja. Aku gak pernah aneh-aneh, cuma memang lagi ada pikiran aneh aja soal cerita anak itu kemarin. Maka nya jangan ajak aku cerita dulu."


Yanti menggaruk kepalanya. Kemudian menganggukkan kepala, dia berjanji tidak akan mengajakku mengobrol yang aneh-aneh dulu. 


Kami akhirnya sampai. Aku menghela napas lega, kami bisa sampai dengan selamat. Aku dan Yanti langsung turun dari mobil. 


"Mama kemana aja sih? Lama banget jemput Dani. Kan Dani biasa pulang sekolah jam tiga, ini sampai setengah lima Mama baru datang ke sekolah."


Aku merasa bersalah sekali karena Dani sudah terlihat keringetan. "Maaf ya, Sayang. Tadi Mama masih agak kecapekan. Kamu gak papa kan? Ada yang nakalin kamu?" 


Dani menggelengkan kepala. "Gak ada, Septo juga banyak bantuin aku tadi, Ma. Buat tugas sekolah biar cepat selesai, semuanya dibantu sama Septo. 


"Ah, makasih banyak ya, Eepto."


"Ya udah, yuk kita masuk lagi ke dalam mobil. Udah sore banget, aku juga harus pulang setelah nganter kamu, Sih. Suami aku juga harus dibuatin makanan." 


"Iya, yuk pulang."


Pandanganku teralih ke tas Dani, kemudian mengernyitkan dahi. 


"Ini noda bekas apa, Sayang? Kok kayak darah?" tanyaku sambil menatap tas milik Dani yang terlihat ada bercak darahnya. 


Yanti juga ikut berhenti memperhatikan darah yang ada di tas Dani. Aku menelan ludah, apa kah anakku berantem? Atau bagaimana? Ini noda darah dari mana?


Anakku langsung menggelengkan kepala. "Dani gak berantem, Ma."


"Lalu ini apa, Nak?" 


"Mama masih ingat anak yang kemarin gak?" tanya Dani membuatku menganggukkan kepala. Kejutan apa lagi yang akan aku dengar setelah ini? Apa yang hendak diceritakan oleh Dani?


"Tadi anak itu jatuh di depan kelasku, Ma. Dia lagi ngambilin sampah yang bisa dijual katanya. Aku bantuin dia deh, karena tadi gak ada tisu, jadi aku suruh dia lap ke tas aku. Dari pada ke baju, nanti Mama malah susah nyucinya."


Astaga, justru ini juga akan sulit untuk mencucinya. Aku menghela napas pelan, terserah Dani saja deh. Nanti mungkin aku akan membawa tas ini ke loundry, siapa tau bisa, tapi kalau tidak bisa ya udah mau bagaimana lagi. 


"Ish, tapi tadi kamu itu ngomong sendiri tau, Dan. Aku sama teman sekelas tau kok."


Eh? Aku langsung menoleh ke Septo, kemudian kembali menoleh ke Dani yang menggelengkan kepala. 


"Aku tadi betulan bantuin anak itu, Ma. Aku gak bohong kok. Aku serius." Dani berusaha untuk meyakinkanku. 


Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, kemudian menoleh ke Yanti yang juga tampak ada perubahan di wajahnya. Bagaimana ini? Apa kah benar yang Yanti bilang kemarin?


"Enggak tau, Dan. Aku lihat kamu ngomong sendiri tau, kita semua nya juga tau kalau kamu ngomong sendiri. Maka nya jangan kebanyakan halusinasi, Dan." 


"Ya ampun, tapi Ma—"


"Sudah cukup anak-anak. Kita pulang ya sekarang. Udah, jangan debat lagi, oke?"


Yanti sepertinya sudah pusing sekali mendengar apa yang dikatakan oleh Dani dan juga Septo. Kami kembali melanjutkan perjalanan, kali ini ke gedung kosong yang katanya tempat anak itu berada. Aku berkali-kali menghela napas pelan, berusaha untuk menenangkan diri kalau saja apa yang terjadi akan membuatku lebih syok lagi. 


Kali ini yang mengendarai mobil adalah Yanti karena kami tidak mau mengambil risiko kalau aku yang membawanya. Takut nya justru aku berpikir yang macam-macam lagi dan malah membuat anak-anak trauma. 


Aku mengambil ponsel, menelepon Mas Zaki. 


"Halo, Sayang. Ada apa?" sapa Mas Zaki ketika baru mengangkat telepon dariku. 


"Halo, Mas. Aku udah sama Dani, ini lagi mau perjalanan pulang ke rumah."


"Ah, akhir nya. Ya udah, Sayang. Kamu hati-hati, aku juga mungkin bakalan pulang jam enam, gak terlalu sore kok. Oh iya, kamu udah siap-spain pakaian? Kita mungkin langsung berangkat aja ya kalau kamu kuat."


"Iya, Mas." Aku menganggukkan kepala. "Sebagian pakaian udah disiapin sama Rafi, nanti aku juga kalau udah sampai rumah langsung nyiapin pakaian yang lain kok."


"Nah, bagus Sayang. Makasih banyak udah nurut. Aku matiin dulu ya teleponnya. Masih banyak banget yang harus diurus. Kamu hati-hati, jaga kesehatan juga, karena masih banyak yang harus diurus. Oh iya, jangan lupa siapin makanan, Sayang. Beli aja biar gak kejadian kayak tadi siang, oke?"


Dia memang begitu, selalu mempersiapkan semuanya dengan baik. Aku menganggukkan kepala, mengingat apa yang dibilang oleh Mas Zaki. 


"Kalau ada apa-apa langsung kabarin aja, Sayang." 


Mas Zaki sudah mematikan teleponnya. Aku menghela napas pelan. 


"Yang mana jalannya, Sih?" tanya Yanti membuatku akhirnya mengarahkan jalan nya. Tidak terlalu jauh dari sekolahan Dani dan Septo. 


"Ini kita mau kemana, Ma, Tante? Kayak nya bukan jalan ke rumah ya?" tanya Dani membuatku menganggukkan kepala. Septo juga tampak penasaran sekali kami mau kemana. 


"Kita mau ke gedung kosong yang jadi kumpulan anak-anak jalanan itu. Ada yang harus diurus, Sayang." Aku memberikan pengertian pada mereka. 


"Tapi kita mau ngapain?"


"Ada banyak anak-anak di sana. Kan kita juga bisa lihat anak yang kemarin dan hari ini kamu tolong, Sayang." Aku kembali berbicara pada Dani. 


"Ini kan gedungnya?" tanya Yanti membuatku menganggukkan kepala. Kami sudah sampai. 


Yanti memarkiran mobil, kami berdua kemudian membantu anak-anak untuk turun dari mobil. Gedung ini sepertinya sepi sekali. 


"Kita harus kemana, Sih?" tanya Yanti membuatku menggelengkan kepala. Aku juga tidak pernah ke sini, jadi mana aku tau kami harus kemana setelah ini. 


"Coba kamu tanya."


Masalah nya, mau bertanya ke siapa? Gedung ini tampak tidak terawat sekali, aku menelan ludah agak seram melihatnya. 


"Kalian mau apa di sini?"


Eh? Hampir saja aku melompat mendnegar suara di belakang. Kami langsung berbalik, menatap kakek tua yang berdiri di hadapan kami. Aku menoleh ke Yanti. 


"Kalau kakek ini kamu bisa lihat kan," bisikku membuat Yanti menganggukkan kepala, dia bisa melihat kakek ini ternyata. 


"Apa kah kalian ingin membuang anak-anak ini untuk ditaruh di sini?" tanya kakek itu sambil menatap bergantian Dani dan Septo. 


Aku langsung menggelengkan kepala, enak saja. Aku tidak mau lah membuang anakku. Berani sekali dia bertanya begitu. Yanti juga raut wajahnya langsung berubah. 


"Lalu apa mau kalian? Biasa nya kalau kesini membawa anak-anak, akan membuang anak itu untuk ditaruh di sini. Apa mau kalian?"


Astaga, aku tidak akan membuang anakku, apa pun alasannya. Aneh sekali sih pertanyaan dia. Aku mengubah raut wajah jadi serius. 


"Kami ingin bertemu si kerdil, Kek." Aku ingat siapa nama populer anak itu di sini. 


Wajah kakek itu langsung berubah, dia menatap mereka bergantian. 


"Si kerdil? Apa urusan kalian dengan si kerdil? Si kerdil sudah meninggal satu tahun yang lalu."


"Hah?! Sudah meninggal satu tahun yang lalu?!"


***


BACA SELENGKAPNYA DI KB---M AP--P. CARI DI PENCARIAN DENGAN JUDUL YANG SAMA ATAU KLIK LINK DIBAWAH. JANGAN LUPA DISUBSCRIBE. MAKASIH.

Share:

Definition List

Unordered List

Support